Beralas kaki sandal termurah, model pakaian seadanya terkadang
terlicin, kadang juga bergaris berlawanan tampak pada kemeja dan celana murahnya, hasil
buah tangan Bapaknya yang berprofesi tukang jahit di desanya. Ia anak
laki-laki biasa yang bertekad mencoba duduk di bangku perkuliahan sebagai syarat
agar mendapatkan legalitas dan diakui di tempat ia mengais rizki sebagai dan pembuktian diri sebagai anak laki-laki dan anak pertama dari tiga
bersaudara.
Pada suatu sore di sebuah pesantren tempat ia belajar ngaji sedari kecil, ia mendapatkan amanat dari Kyainya untuk mengabdi sebagai pengajar di
salah satu unit pendidikan di pesantren tempat ia mengaji tersebut. Ia
hanya sebagai guru pengganti untuk mengisi kekosongan di salah satu kelas yang
pada saat itu ada pengajar yang tidak bisa aktif berkegiatan belajar mengajar lagi.
Di
suatu sore sebelum ia memberanikan diri memutuskan melanjutkan pendidikan
ke jenjang perkuliahan, selesai ia berkegiatan, Imam diajak bicara oleh salah
satu kerabat yang paling dekat dengannya.
Mubarok :
“Mam, kamu harus kuliah untuk kelanjutan karir mu, kita dituntut oleh kebijakan, agar memiliki gelar Strata Satu”
Imam :
“Yang benar si Bang, memang itu ancaman dari pemerintah?”
Mubarok :
“Ancaman si
bukan Mam, tapi ini lebih pada aturan sebagai pengajar”
Imam :
“Duit nya Bang,
gaji bulanan ku cuma 125 ribu, hehehe, nantilah saya pikir-pikir dulu".
Mubarok :
“Kampusnya kan
dekat dan berisi orang-orang dekat juga kenal kamu, kenapa harus bingung?”
Imam :
“Iya sih Bang,
ya sudahlah nanti, masih bigung Bang”
Mubarok :
“Terserah kamu
lah Mam”
Imam :
“Saya pulang
duluan Bang, sambil saya pikirkan yang kita bicarakan tadi”
Mubarok :
“Jangan
berlebihan Mam mikirnya, tuh tiang listrik di depan, akan menjadi sasaran
lamunan mu, hahaha”
Imam :
“Hahaha, siap Bang”
Bersambung

0 Comments